Cerita ini terjadi di tahun 2003, saat aku SMP kelas 2. Di sekolahku memang setiap tahunnya seringkali mengadakan perkemahan bersama.
Saat itu, lokasi yang dipilih adalah Gunung Puntang, Banjaran. Gunung Puntang dipilih karena jarak yang dekat, suhu yang tidak terlalu dingin, dan akses ke kota dan rumah penduduk yang tidak terlalu jauh.
Sementara itu, ruang perkemahannya cukup luas dan sudah dilapisi semen. Dengan kata lain, lokasi ini pas untuk perkemahan tanpa repot dan becek.
Sebelum keberangkatan
Sebenarnya kegiatan perkemahan ini hanya wajib untuk siswa kelas 1 saja. Namun, karena anggota pada saat itu merupakan anggota OSIS, jadi mau tidak mau aku harus ikut.
Sehari sebelumnya Kakekku datang ke rumah. Rumahku dan rumah kakek bertetangga, hanya perlu beberapa langkah saja sudah sampai. Kakek datang dengan raut muka khawatir dan bertanya apakah aku memang harus pergi ke perkemahan itu? Dengan mantap aku bilang 'iya'.
Aku punya tanggung jawab sebagai anggota OSIS inti. Kakek hanya mengangguk dan berpesan agar aku tidak lupa membaca doa, sebelum pergi pun sesampainya disana.
Menuju ke perkemahan
Keesokan harinya aku berangkat pagi-pagi sekali. Semua siswa yang ikut, wajib datang pagi-pagi dan absen terlebih dahulu. Selanjutnya, kami semua akan pergi menaiki truk tentara yang besar.
Semua siswa diberangkatkan, dan sepanjang perjalanan kami tertawa bersama. Seperti tahun lalu, kami akan berkemah selama 3 hari 2 malam di sana.
Akhirnya kami sampai di perkemahan yang dituju. Perkemahan Gunung Puntang. Suasana yang lebih modern, lebih bersih, dengan lantai kemah yang sudah disemen, dan jalan yang sudah diaspal. Aku berpikir tempat kemah kali ini tidak akan se-creepy tahun lalu.
Oiya, tahun lalu kami semua pergi berkemah di Rancaupas, Ciwidey, dan ada salah satu tenda yang hampir kemasukan babi celeng karena posisi kami memang benar-benar di tengah hutan. Sangat berbeda dengan perkemahan tahun ini karena posisinya yang masih dekat dengan pintu masuk.
Kami semua mulai sibuk mendirikan tendanya masing-masing, dibantu para kakak pembina dan para guru.
Malam pertama di Gunung Puntang
Salah satu guruku ternyata Indigo. Dia berulang kali mengingatkan para siswa untuk menjaga tata krama, menjaga lisan agar tidak berkata kasar, dan tidak terlalu ribut. Para siswa perempuan apalagi yang berhalangan pun tidak diperkenankan mandi sore hari atau mandi malam, dan selalu minta ditemani jika akan ke toilet.
Ada salah satu siswa yang menurutku sangat bebal. Sebenarnya dia juga temanku sih, tapi aku memang gak suka sama sifatnya yang ceriwis dan tidak mengenal tempat. Dia berulang kali diperingatkan untuk tidak bicara kasar dan tertawa terbahak-bahak, tapi ya begitulah, susah dibilangin.
Malam harinya terdengar ribut-ribut kalau dia melihat penampakan di toilet.
Malam kedua di Gunung Puntang
Hari kedua dilalui seperti biasanya dengan diawali kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Seperti perkemahan pada umumnya, malam di hari kedua akan diadakan jurit malam dan berakhir dengan mengelilingi api unggun.
Aku yang pada saat itu merupakan panitia diminta untuk menemani salah satu guru bersama ketua OSIS untuk memeriksa jalan yang akan dilalui untuk kegiatan jurit malam. Sepanjang pemeriksaan jalan itu, guruku itu selalu berkata "fokus, jangan melamun, jangan terlalu sering lihat ke atas. Lihat ke arah saya saja, atau lihat lurus ke jalan". Aku gak mengerti maksudnya, tapi aku turuti saja perintahnya.
Malam harinya, kegiatan jurit malam pun dimulai. Siswa yang sudah dikelompokkan, satu per satu mulai berjalan menyusuri jalan yang sudah ditandai panitia. Akhirnya tiba giliran kelompok terakhir berjalan, tapi tiba-tiba ada panitia yang berteriak dari kejauhan.
Semua panik, ada siswa yang dibopong. Siswa itu ternyata temanku yang ceriwis, dia kesurupan.
Malam itu pecah, jurit malam dibubarkan, kegiatan api unggun dibatalkan. Semua siswa harus masuk ke dalam tenda dan tidak boleh ada yang keluar tanpa ijin.
Ada temanku yang kebelet pipis dan minta aku temani, dia berinisatif pergi ke kakak pembina untuk meminta ijin dan aku menunggu di luar tenda.
Di belakang tenda aku melihat ada siluet batu besar disamping pohon. Belakang pohon itu jurang dangkal. Di siluet batu besar itu aku melihat batu kecil berwarna merah menyala, bagus sekali.
Aku mendekat perlahan bermaksud untuk mengambil batu kecil merah itu. Cukup lama sebenarnya aku memperhatikan batu itu, aku pikir itu pantulan cahaya dari tenda, tapi ternyata bukan.
Aku mendekat perlahan, mencoba meraihnya dan sedikit lagi aku menggapainya tiba-tiba aku dipanggil. Guru Indigo itu yang memanggil. Guru itu lantas menyuruhku cepat-cepat mengantar temanku ke toilet dan kembali dengan cepat pula.
Saat kembali ke tenda, batu merah cantik itu sudah tidak ada.
Hari ketiga, kepulangan
Siswa diminta bersiap lebih cepat karena kita akan dipulangkan lebih cepat. Semua kegiatan hari ketiga dibatalkan. Ini semua karena siswa kesurupan itu. Para guru khawatir akan terjadi kesurupan lain lagi, atau yang lebih parah, kesurupan massal.
Aku masih dengan rasa penasaranku dengan batu semalam, aku lari ke belakang tenda dan memeriksa batu besar itu di sana, di samping pohon. Tapi tidak ada batu besar maupun batu kecil di sana, di bawah jurang pun tidak ada. Waktu itu aku berpikir, siapa yang bisa memindahkan batu sebesar ukuran anak SMP itu ya?
Aku bertanya kepada temanku yang aku antar ke toilet, tapi dia bilang "sejak awal tidak ada batu disitu, cuma ada pohon!". Aneh, ini aneh sekali.
Sesampainya di rumah
Aku tiba di rumah dengan rasa letih luar biasa, aku diam seribu bahasa karena merasa lelah.
Seperti biasa, saat magrib tiba, kakek selalu datang ke rumah dan mengobrol dengan mamah sambil menunggu adzan isya. Sayup-sayup aku mendengar mamah berkata "si neng pulang dari gunung puntang jadi diem kayak gitu bah".
Kakekku tiba-tiba memanggilku dan meminta mamaku mengambilkan segelas air putih. Kakek memegang kepalaku dan membaca doa. Saat itu yang aku ingat, "kakek ngapain ini, kenapa megang kepalaku, aduh gak mau jangan kayak gini". Seolah memberontak untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Kenapa aku harus memberontak saat kakek mau mengusap kepalaku? Aneh.
Setelah aku diminta untuk minum, kakek bertanya "lihat apa kamu disana?". Kemudian aku menceritakan bahwa aku melihat sebuah batu besar seukuran anak SMP dengan batu merah menyala, aku hendak mengambil batu itu, tapi tidak jadi. Kakekku berkata "Syukurlah gak diambil".
Macan hutan dan batu merah delima
Sepulangnya kakek, mamah bercerita, bahwa yang aku lihat saat itu bukanlah batu melainkan macan gaib. Batu merah yang aku lihat adalah mata si macan itu, yang nantinya akan bermanifestasi menjadi batu merah delima. Macan gunung gaib itu telah memilihku untuk menjadi tuannya, jika saja aku berhasil mengambil batu merah delima itu.
Ini pertama kalinya aku bercerita tentang peristiwa mistis yang aku alami. Tinggalkan komentar kalau kamu menyukainya ya.
0 Komentar