Di tengah keberagaman suku dan budaya di Indonesia, ada satu dinamika yang cukup unik sekaligus sensitif: hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa. Meski secara geografis berdekatan dan sama-sama berasal dari pulau Jawa, tidak sedikit orang Sunda yang merasa keberatan jika disebut orang Jawa. Kenapa begitu?
Untuk memahami hal ini, kita perlu menengok sejarah jauh ke masa lalu, tepatnya ke abad ke-14, ketika dua kerajaan besar di Nusantara sedang berdiri: Kerajaan Majapahit di timur, dan Kerajaan Sunda (Pajajaran) di barat.
Tragedi Bubat: Luka Sejarah yang Membekas
Segalanya bermula dari sebuah peristiwa tragis yang dikenal sebagai Tragedi Bubat. Saat itu, Hayam Wuruk, Raja Majapahit, berniat memperistri Dyah Pitaloka, putri Raja Sunda. Namun saat rombongan kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk pernikahan, Gajah Mada, mahapatih Majapahit, menganggap pernikahan itu sebagai bentuk penaklukan.
Puncaknya, terjadi bentrokan bersenjata di Lapangan Bubat. Raja Sunda, Prabu Linggabuana, gugur. Dyah Pitaloka pun memilih bunuh diri demi menjaga kehormatan keluarga dan kerajaan. Peristiwa ini bukan hanya tragedi politik, tapi juga luka budaya yang membekas dalam memori kolektif orang Sunda.
Luka Kolektif yang Menurun Diam-diam
Meskipun Tragedi Bubat terjadi berabad-abad lalu, trauma sosialnya terus diwariskan secara lisan dan budaya. Banyak keluarga Sunda yang masih menuturkan kisah ini dalam bentuk dongeng, legenda, hingga nasihat-nasihat hidup. Tanpa disadari, tragedi ini menciptakan jarak emosional antara masyarakat Sunda dan simbol-simbol kekuasaan dari tanah Jawa Timur.
Maka, ketika seseorang menyebut orang Sunda sebagai “orang Jawa”, itu terasa seperti menghapus identitas dan sejarah mereka sendiri, terutama bagi mereka yang sangat menjaga warisan leluhur dan budayanya.
Bahasa, Budaya, dan Identitas yang Berbeda
Secara linguistik, bahasa Sunda dan bahasa Jawa sangat berbeda. Begitu pula dengan struktur sosial, adat, dan filosofi hidup. Budaya Sunda cenderung egaliter dan santai, sementara budaya Jawa punya hirarki dan struktur sosial yang lebih kompleks.
Jadi, ketika disebut “orang Jawa”, orang Sunda bisa merasa tidak hanya kehilangan identitas bahasanya, tapi juga disamakan dengan sistem nilai yang berbeda.
Ini Bukan Soal Benci, Tapi Soal Memori
Perlu diluruskan: penolakan untuk disebut “orang Jawa” bukan berarti orang Sunda membenci orang Jawa. Ini lebih kepada perlindungan terhadap identitas budaya sendiri. Sebuah upaya untuk menjaga sejarah dan membedakan diri tanpa niat merendahkan pihak lain.
Di sisi lain, hubungan budaya dan sosial antara Sunda dan Jawa saat ini tetap berjalan dengan baik. Banyak pernikahan antarsuku, pertukaran budaya, hingga kolaborasi dalam seni dan ekonomi.
Belajar dari Masa Lalu, Melangkah ke Depan
Memahami kenapa orang Sunda tidak mau disebut orang Jawa berarti kita sedang belajar menghargai perbedaan. Sejarah memang bisa menyakitkan, tapi juga bisa menjadi jembatan untuk saling memahami.
Kita tidak perlu melupakan Tragedi Bubat, tapi kita bisa menggunakannya sebagai bahan refleksi: bahwa identitas dan rasa hormat pada budaya orang lain penting dijaga dalam hidup bersama di negeri yang majemuk ini.
0 Komentar