Santai, Tidak Ambisius, Anti-Korupsi? Gaya Pemerintahan Pajajaran di Masa Lalu

 

Santai, Tidak Ambisius, Anti-Korupsi? Gaya Pemerintahan Pajajaran di Masa Lalu

Saat mendengar tentang Kerajaan Pajajaran, banyak yang membayangkan suasana damai di tengah pegunungan, masyarakat yang hidup bersahaja, dan pemimpin yang tidak otoriter. Tak sedikit pula yang berasumsi: “Orang Sunda dari dulu memang santai, gak ambisius, dan cenderung anti-konflik.” Tapi apakah karakter ini juga tercermin dalam sistem pemerintahannya?

Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (kini wilayah sekitar Bogor), dikenal dalam naskah-naskah lama sebagai kerajaan yang makmur, tetapi tidak agresif secara militer. Ini berbeda dengan Majapahit atau Mataram yang ekspansif. Apakah ini artinya mereka “tidak ambisius”? Atau justru punya gaya kepemimpinan yang unik?

Gaya Pemerintahan yang Lebih Luwes

Berdasarkan catatan seperti Carita Parahyangan dan naskah Bujangga Manik, kerajaan Pajajaran menekankan pada ketertiban moral dan budaya, bukan kekuasaan militer. Raja tidak bertindak sebagai penguasa absolut, tapi lebih sebagai pangayoman, pelindung rakyat. Pendekatan ini membuat tatanan masyarakat lebih bersifat sosial-kultural daripada hierarkis-struktural.

Beberapa nilai utama dalam sistem ini adalah:

  • “Cageur, bageur, bener, pinter”, falsafah hidup Sunda yang juga mewarnai cara memimpin.
  • Gotong royong dan sistem sosial yang kuat, sehingga pengawasan terhadap elite juga berjalan secara alami.
  • Penghormatan pada adat dan batas wilayah, membuat Pajajaran tidak suka ikut campur urusan luar kecuali diserang.

Minim Catatan tentang Korupsi

Menariknya, tidak banyak cerita soal penyalahgunaan kekuasaan di masa Pajajaran. Bukan berarti tidak ada, tapi sistem yang lebih egaliter dan berbasis kekerabatan membuat praktik korup lebih sulit dilakukan diam-diam. Selain itu, tidak ada bukti arkeologis seperti istana megah atau proyek besar yang menunjukkan ambisi pribadi raja untuk memperkaya diri.

Bandingkan dengan kerajaan lain yang meninggalkan banyak prasasti pengagungan diri atau candi raksasa di Pajajaran, jejak itu sangat minim. Ini bisa jadi tanda bahwa:

  • Fokus mereka bukan kemegahan simbolik.
  • Sumber daya lebih diarahkan untuk keseharian rakyat, bukan kemuliaan penguasa.
  • Nilai kesederhanaan dan harmoni menjadi prioritas utama.

Bukan Soal Malas, Tapi Prinsip

Label “tidak ambisius” seringkali disematkan pada karakter orang Sunda. Padahal, kalau dilihat dari sejarah, yang lebih tepat mungkin: tidak serakah. Gaya hidup dan kepemimpinan Sunda tradisional cenderung menghindari konflik, mengutamakan keseimbangan alam dan sosial, serta memegang teguh prinsip ulah ngareuah-reuah atau tidak membuat kekacauan.

Ini pula yang bisa menjelaskan kenapa tidak banyak ekspansi atau ambisi menaklukkan wilayah lain. Pajajaran memilih memperkuat dari dalam ketimbang menjajah dari luar.

Warisan yang Terasa hingga Kini

Gaya kepemimpinan ala Pajajaran mungkin terasa relevan di era sekarang, santai tapi bukan berarti lemah, tidak agresif tapi tetap berprinsip, dan menjaga harmoni dalam masyarakat. Bahkan nilai-nilainya masih hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda modern.

Dan meski tak ada candi megah yang bisa ditunjuk, warisan sesungguhnya dari kerajaan ini adalah nilai budaya dan cara hidup yang masih terasa: rendah hati, rukun, dan gak neko-neko.

Kesimpulan: Bukan Lemah, Tapi Bijak

Kerajaan Pajajaran mungkin tidak meninggalkan jejak fisik yang spektakuler seperti Borobudur atau Prambanan, tapi ia meninggalkan warisan tak kasat mata: cara memimpin yang bersandar pada nilai, bukan ego. Bagi sebagian orang mungkin terlihat “kurang ambisius,” tapi mungkin justru itulah bentuk kepemimpinan yang paling bijak.

Posting Komentar

0 Komentar