Tentang Literasi, Ego, dan Cara Kita Memperlakukan Orang

Tentang Literasi, Ego, dan Cara Kita Memperlakukan Orang

Beberapa waktu lalu, aku terlibat obrolan yang bikin dahi mengernyit. Bukan karena topiknya berat, tapi karena cara penyampaiannya. Semuanya bermula dari komentar ringan yang kubalas dengan sarkasme kecil, sangat kecil, menurutku. Tapi ternyata itu cukup untuk menyulut perdebatan panjang yang bikin aku mikir ulang: apa benar literasi selalu membuat seseorang lebih bijak?

Lucunya, perdebatan itu bukan terjadi di kolom komentar random, tapi dengan seseorang yang mengaku sebagai pegiat literasi. Ia menyebut dirinya penggagas komunitas baca, pelaku teater, dan pengajar selama belasan tahun. Tapi dari caranya bicara, aku justru merasa sedang ditegur oleh seseorang yang terlalu larut dalam identitasnya dan lupa bagaimana memperlakukan orang lain.

Ketika Literasi Tak Lagi Membumi

Awalnya aku kira kami akan saling melempar argumen, atau bahkan berdiskusi soal perbedaan perspektif. Tapi yang muncul justru hinaan personal. Aku dianggap hanya “flexing” buku, dinilai cuma jualan, dan lebih pantas jadi ibu-ibu yang jualan "pop ice" di Facebook. Jualan tidak rendah, tapi bagaimana cara dia menyampaikan, terkesan menjadi "rendahan". Semua disampaikan tanpa tanya, tanpa ajak ngobrol, apalagi memahami konteks.

Saat itu aku sempat berpikir, apa salah kalau seseorang suka membaca dan membagikannya? Bukankah justru itu yang selama ini kita kampanyekan dalam dunia literasi, membuat lebih banyak orang akrab dengan bacaan? Tapi entah kenapa, di tangan orang yang salah, “suka baca” bisa berubah jadi senjata untuk merendahkan orang lain.

Esensi Literasi Bukan Pada Jumlah Buku

Aku jadi sadar, ternyata bukan bacaan yang membentuk seseorang, tapi bagaimana ia mencerna dan memaknai isinya. Literasi bukan tentang seberapa banyak buku yang dibaca, tapi bagaimana kita bisa tetap rendah hati dan terbuka setelahnya. Kalau literasi hanya jadi alat untuk membangun ego dan menjatuhkan yang lain, bukankah kita sedang melenceng jauh dari tujuannya?

Belajar Menjadi Manusia yang Punya Empati

Kadang, kita terlalu bangga dengan label “berliterasi” sampai lupa bersikap baik. Kita pikir, asal bisa menyebut nama penulis dan kutipan filsuf, berarti kita sudah selesai belajar. Padahal esensi literasi bukan di rak-rak buku, tapi di cara kita memperlakukan orang: dengan hormat, dengan empati, dan dengan tidak mudah menghakimi.

Buatku pribadi, kejadian ini jadi pengingat yang agak pahit. Bahwa bahkan orang yang paling lantang menyuarakan pentingnya literasi pun bisa terjebak dalam kebiasaan meremehkan. Dan mungkin, itu sebabnya dunia literasi tetap harus terus dibenahi, bukan dari jumlah buku yang dibaca, tapi dari sikap para pembacanya.

Karena akhirnya, literasi yang benar bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mampu menjaga hati dan pikirannya tetap terbuka.

Kalau kamu punya pengalaman yang sama, coba ceritakan di kolom komentar.

Posting Komentar

0 Komentar