Apa jadinya jika lamaran seorang raja justru memicu perang? Itulah yang terjadi dalam Tragedi Bubat, peristiwa memilukan di abad ke-14 ketika rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda justru dihancurkan oleh pasukan Majapahit.
Peristiwa ini bukan hanya soal perang. Di baliknya ada ego kekuasaan, ambisi politik, dan rasa malu yang sulit ditebus. Dan yang paling mencolok: Gajah Mada, sang Mahapatih legendaris, justru menjadi sosok paling bertanggung jawab.
Latar Belakang Tragedi
Semua bermula dari niat baik: perjodohan antara Hayam Wuruk (raja Majapahit) dan Dyah Pitaloka (putri Kerajaan Sunda). Lamaran diterima, rombongan Sunda pun datang ke Majapahit, dipimpin langsung oleh Raja Sunda.
Tapi saat mereka tiba di Lapangan Bubat, niat baik berubah menjadi mimpi buruk.
Gajah Mada, dalam ambisinya menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa, melihat ini bukan sebagai pernikahan politik, tapi sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Ia ingin rombongan Sunda tunduk, bukan sekadar menikah. Dan di situlah segalanya pecah.
Raja Majapahit vs Mahapatih
Yang menarik, Hayam Wuruk sendiri sebenarnya tidak menyetujui langkah Gajah Mada. Ia berniat menikahi Dyah Pitaloka dengan hormat, sebagai raja kepada sesama raja.
Tapi Gajah Mada bersikeras. Baginya, kerajaan yang datang tanpa membawa pasukan besar ke wilayah Majapahit adalah pihak lemah dan layak ditaklukkan. Ia menganggap ini kesempatan emas untuk menyempurnakan hegemoni Majapahit di Jawa Barat.
Perbedaan pandangan inilah yang menjadi akar tragedi.
Pertempuran yang Tak Seimbang
Rombongan Sunda tak siap tempur. Mereka datang sebagai keluarga, bukan pasukan perang. Tapi demi kehormatan, Raja Sunda memilih bertempur dan gugur di lapangan Bubat, bersama para bangsawan dan pengawal.
Dyah Pitaloka pun akhirnya melakukan bela pati (bunuh diri untuk menjaga kehormatan). Sumber-sumber kuno menyebut ini sebagai "tragedi kehormatan" paling memilukan dalam sejarah Nusantara.
Siapa yang Salah?
Pertanyaan ini terus diperdebatkan. Tapi satu hal yang jelas: Gajah Mada bertindak di luar restu raja, menjadikan politik ekspansi lebih penting dari diplomasi dan rasa hormat antar kerajaan.
Beberapa ahli menyebut ini sebagai puncak dari ambisi Gajah Mada, dan juga awal dari kemundurannya. Tak lama setelah itu, ia mengundurkan diri sebagai mahapatih. Tragedi Bubat menjadi noda dalam sejarah kejayaannya.
Dampaknya Tak Selesai di Lapangan Bubat
Tragedi ini membuat hubungan Majapahit dan Kerajaan Sunda membeku selama ratusan tahun. Bahkan, dalam tradisi masyarakat Sunda, ada mitos tak tertulis yang menyebut, pernikahan dengan orang Jawa dilarang sebagai bentuk trauma kolektif dari peristiwa ini.
Lebih jauh lagi, ini menjadi pelajaran sejarah tentang bagaimana ambisi politik bisa menghancurkan aliansi, kepercayaan, dan nyawa.
Dari Tragedi Jadi Cermin Sejarah
Tragedi Bubat adalah bukti bahwa sejarah Nusantara tidak selalu tentang kejayaan, tapi juga tentang konflik internal, perbedaan visi, dan dampak ego penguasa.
Di satu sisi, kita melihat Gajah Mada sebagai tokoh besar pemersatu Nusantara. Tapi di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata bahwa ia pernah menempatkan ambisi di atas kemanusiaan.
Dan dari Dyah Pitaloka, kita belajar bahwa perempuan pun punya peran dalam sejarah, bahkan dalam senyapnya tragedi.
0 Komentar